"Come on baby, light my fire, try to set the night on fire and our love become a funeral pyre." —Light My Fire, The Doors
Rindu yang dikutuk
jarak & waktu menjumpai titik temu. Aku milikmu, engkau
milikku, detik ini, ujarku dalam hati. Malam sepertinya iba, melihat aku dan kamu bercumbu sampai pagi. Aku tak peduli dengan hujan
di-luar yang semakin deras, yang datang tak henti-hentinya dan mungkin bisa menenggelamkan kota ini, kota Jakarta yang sedang aku datangi karena sesosok wanita yang membuatku jatuh cinta, ya cinta. Karena sebetulnya aku sangat malas berkunjung ke kota ini, terlebih jika merasakan panasnya cuaca dan penat kemacetan disetiap petak jalannya.
Aku memperhatikan dirimu yang dingin dan apa adanya, aku menyukainya sungguh. Membuatku berfikir dan yakin, bahwa memang setiap individu mempunyai caranya masing-masing untuk menampilkan diri dan menjalani hidupnya. Namun di-balik dinginnya dirimu, aku melihat, mencoba menyelami sorotan matamu yang tajam dalam-dalam. Ada sebuah kepedihan yang kamu telan mentah-mentah disana, sesuatu yang benar-benar pernah membuatmu ambruk. Aku bisa melihat dari matamu; bagaimana kamu berjuang mati-matian untuk kembali menata dirimu, merapihkan kembali mimpi-mimpi yang tak henti-hentinya kamu lukiskan.
Aku kembali memelukmu—yang sedang asik memainkan permainan berkebun—dari belakang. Begitu melegakan melihatmu bisa mempunyai cara tersendiri mengalihkan kebosanan akan hidup. Hujan masih terdengar, semakin deras. Walaupun banyak orang yang mengutuk hujan di-akhir dan awal tahun, aku sungguh tak peduli. Untukku hujan itu memberikan banyak pelajaran tentang sebuah kesetiaan. Setia membasahi bumi di-awal bulan Desember hingga—mungkin—akhir Januari dengan tak henti-henti, dan kemudian akan pergi, lalu kembali memupuk rindu untuk bertemu lagi.
***
Aku memelukmu dari samping dan mencium bibirmu yang mungil. Aku tahu dirimu sedang berada dalam kondisi setengah sadar karena kelakuanku yang berengsek; membuatmu tidak tidur sampai terangnya langit pagi muncul dengan malu-malu, lebih tepatnya mendung. Sedangkan beberapa jam lagi kamu harus menjalankan rutinitas harian, mengais rupiah. Mengumpulkan sedikit demi sedikit dan mencoba bertahan demi mimpi-mimpi yang yang kamu dekap terus menerus.
Ada sedikit gelisah yang menggumpal dalam dada, aku merasakan sedikit kegundahan tentang rasa bersalah. Di-telingaku terngiang sepenggal puisi—entah milik siapa—yang dilantunkan oleh Godspeed You! Black Emperor beriringan dengan suara drones, berulang-ulang.
Kiss me, you're beautiful,
these are truly the last days,
you grabbed my hand,
and I fell into it,
like a daydream or a fever.
"Hati-hati ya." ujarmu dengan mata setengah tertutup sambil sesekali merapihkan rambut ikal pendekmu yang diam-diam aku kagumi.
Aku jadi teringat malam sebelumnya engkau berkata bahwa rambutmu ikal, jadi jangan diacak-acak. Aku hanya tersenyum dan mengiyakan. Ada satu yang aku sedikit sesalkan,
aku tidak bisa mengabadikan beberapa momen di-sana, dan keadaan
hiruk-pikuk Ibukota yang semerawut, karena aku lupa membawa camera
digital yang biasanya selalu aku bawa kemana-mana, entah kenapa aku bisa
lupa. Keparat.
Aku mencium pipi kananmu, lalu dengan sedikit berat hati—karena aku harus pulang ke Bandung untuk melakukan ujian akhir semester yang seenak jidat dirubah jadwalnya—berjalan menuju sebuah pintu dimana itu adalah jalan satu-satunya untuk beranjak, melenggang pergi untuk lain waktu kembali menengoki. Pada seperempat ujung jalan aku menoleh ke satu rumah, sebuah rumah yang kamu tempati, aku akan kembali lagi.
See you again, love.
—Jakarta, 20 Januari 2014.