Sore hari, selepas bimbingan dari
kampus, aku mengendarai sepeda motorku melaju ke arah dago. Aku belum
tau aku akan kemana. Aku hanya ingin mencoba menjernihkan pikiran yang
akhir-akhir ini menjadi buram, akibat ulahku sendiri; bermalas-malasan
dengan beberapa aktivitas yang mendadak membuatku tak tertarik.
Akibatnya aku pun terserang penyakit, penyakit bosan berdiam diri, atau
lebih tepatnya mengurung diri.
Mengurung
diri memang mengasyikan, terlebih kalau ada sesuatu yang membuatmu
senang. Seperti misalnya koneksi internet waras, rokok ada 5 bungkus dan
ada 4 bir dingin ukuran besar, gratis pula. Jadi nikmat 'mengurung
diri' mana yang aku dustakan?
Suara klakson dari
sebuah motor mengagetkanku ketika aku keasyikan mengendarai perlahan sambil
melamun di sekitaran daerah dago atas. Motor yang aku kendarai
tak ada kaca spion. Entah alasan apa aku malas memasang kaca spion. Aku menoleh kesamping.
Ternyata seorang wanita, kawan lama yang dulu pernah sangat dekat
denganku, yang awal bulan Mei lalu berjumpa lagi ketika aku sedang
rekreasi di festival hari buruh, mayday dan ketika itu wanita ini
memberikanku sebuah postcard dengan gambar yang dia curi dari salah
satu pelukis terkenal, Eric Drooker. Gambar yang dia curi untuk
postcardnya adalah gambar sepasang kekasih yang sedang bercinta, dan
latarnya adalah sebuah jendela yang memperlihatkan sebuah pabrik. Eric
Drooker rules!
"Mau kemana?" ujarnya disela-sela kami mengendarai kendaraan masing-masing.
Menepi dulu ujarku. Dia mengikutiku menepi di sebuah kios kecil di sekitaran dago, yang menurutku asik untuk dipake ngopi dan berbincang.
"Naik motor itu jangan sambil ngelamun, bahaya. Gimana kalau kerasukan setan? Mau kemana?" ujarnya dengan menunjukkan ekspresi khawatir.
Aku sedang penat, mau keliling-keliling aja ujarku sambil tertawa.
"Eh, titip kopi item satu." ujarnya dengan nada dingin.
Sejak kapan dia minum kopi? Kopi hitam pulak. Aku memesan 2 gelas kopi hitam. Sambil menunggu ibu kios membuatkan pesanan, aku kembali duduk di sebelahnya, aku pun spontan kaget dia sedang menghisap rokok.
Sejak kapan kau minum kopi dan merokok ujarku. Sepengetahuanku kau dulu sangat membenci orang yang merokok dan tak mau minum kopi karena rasanya pahit. Sekarang aku mendapatimu menikmati keduanya.
Dia hanya tersenyum. Cantik sekali.
Aku baru sadar kau memotong rambutmu menjadi sangat pendek ujarku. Lebih pendek dari potongan rambutku. Berbeda dengan ketika awal Mei lalu bertemu di depan gedung sate.
"Potongan rambut ini bikin aku lebih leluasa beraktifitas dan ga bikin gerah tauk. Yang penting tetep cantik, kan?" ujarnya sambil colek-colek tangan kananku.
Aku tertawa dan mengangguk.
"Setiap orang berubah kok, hal sekecil apapun. Termasuk aku sekarang yang jadi suka sama kopi dan merokok. Aku sekarang suka ngopi gara-gara waktu aku tinggal sama kakek, beliau selalu menyediakan kopi di-rumah, dan beliau menawariku rokok kretek. Parah kan? Tapi ya gak apa-apa sih, toh jadi keterusan." ujarnya melanjutkan sambil sesekali menghisap rokok filter di-antara jarinya.
Aku hanya mengangguk dan menyimak. Ibu pemilik kios mengantarkan 2 gelas kopi hitam yang masih mengepul asapnya. Kami berdua mengucapkan terima kasih. Aku memperhatikan raut wajah dan ekspresinya yang menyita mataku. Darahku berdesir, gawat.
Tenggorokanku kering. Aku terdiam. Aku mengambil segelas kopi yang sudah sedikit hangat. Kopi hitam mengalir. Ini lebih nikmat dari biasanya. Entah kenapa.
"Nah kan ngelamun lagi. Ngelamunin apa sih? Hayoh." ujarnya sambil senyum-senyum.
Ah, enggak, enggak jawabku terbata. Aduh gawat.
"Bilang aja, aku merhatiin kamu soalnya." ujarnya dengan tersenyum.
Mau yang jujur atau yang bohong, ujarku. Dadaku berdegup. Aku ketakutan, seperti yang dia bilang bahwa setiap orang pasti berubah. Mungkin sekarang dia berubah jadi pemarah? Aku hanya mengira-ngira.
"Yang jujur dong, siapa juga yang pengen kebohongan?" ujarnya.
Aku ingin ngelumat bibir kamu lagi, ujarku.
Dia menutup mulutnya dan tiba-tiba tertawa keras. Aku memang pernah melakukan itu kepadanya saat aku duduk di kelas 2 SMA. Aku menatap matanya dalam-dalam lalu diam. Namun baru beberapa detik saja, aku langsung mengalihkan pandangan ke depan. Aku tak berani menatap matanya. Aku takut dia marah. Aku sudah siap jikalau sesuatu terjadi, yang pasti aku sudah berusaha jujur.
Aku permisi untuk membayar 2 gelas kopi hitam yang sudah dipesan tadi. Saat aku kembali duduk di sebelahnya aku melihatnya dengan berusaha santai. Seperti ucapan tadi hanyalah celoteh semata. Mukanya memerah, tapi tersenyum. Cantik. Ah gawat. Satu-satunya jalan keluar adalah beranjak pergi.
Tiba-tiba dia mencium bibirku. Aku tak mengelak. Aku membiarkannya dan tanganku akhirnya menahan kepala bagian belakangnya. Mengusapnya perlahan. Ini dia yang aku inginkan. Setelah beberapa detik saling melumat. Aku baru menyadari ternyata ada angkutan umum yang berhenti di depan tempat kami.
"Kade jang, bisi disangka nu aneh-aneh ku batur." ujar sopir angkutan umum sambil beranjak pergi lagi.
Kami berdua saling menatap dan memperhatikan sekitar. Ternyata benar, orang-orang yang di sekitar kami memperhatikan kami. Kami terbahak. Kami berdua baru saja melakukan hal yang keren. Kami sepakat itu keren, karena ini adalah publik, terlebih di-pinggir jalan. Dimana orang-orang mungkin berfikir, dasar pasangan sinting. Kami masih terbahak. Kemudian mengambil tas masing-masing, mengeluarkan kunci motor.
"Sekali lagi dong!" ujarnya dengan memohon.
Aku duduk kembali, tapi dia masih berdiri. Kemudian telapak tangannya mendarat di atas rambutku, mengusapnya, lalu dia mencium keningku. Dadaku berdesir. Aku hanya bisa terdiam.
"Aku masih cinta sama kamu loh. Kalau sayang mah ga usah ditanyain segala lah. Itu mah pasti selalu. Aku nunggu waktu buat nyium kening kamu udah lama banget. Itu yang bikin aku bete dan cape." ujarnya sambil tersenyum. Cantik.
Aku masih duduk terdiam. Apa yang baru saja terjadi?
"Mau nginep disini? Ayo pulang, udah gelap." ujarnya sambil menarik tanganku.
Aku baru tersadar. Lalu kami berdua memakai helm dan menyalakan motor masing.
"Hati-hati di-jalan, jangan ngelamun, bahaya. Udah aku cium tadi masa mau ngelamun lagi?" ujarnya cepat ketika aku akan memberitahu untuk berhati-hati di-jalan. Aku mengangguk.
Kamu juga hati-hati, jangan sampe nyium aspal ujarku sambil tertawa.
"Kamu emang nyebelin. Kabarin ya kalau udah sampe rumah." ujarnya sambil tersenyum, cantik.
Aku hanya mengangguk. Dia melesat dengan motor matic merahnya. Aku memasang headset seperti biasa. Menyalakan audio player di handphone. Memilih Theme From Silk Road milik Kitaro, lalu memilih ikon toogle repeat.
Ah. Aku setuju dengan orang-orang yang berpendapat bahwa sore hari menuju gelap malam itu indah bukan main. Peduli setan dengan kemacetan jalanan dago!
"Mau kemana?" ujarnya disela-sela kami mengendarai kendaraan masing-masing.
Menepi dulu ujarku. Dia mengikutiku menepi di sebuah kios kecil di sekitaran dago, yang menurutku asik untuk dipake ngopi dan berbincang.
"Naik motor itu jangan sambil ngelamun, bahaya. Gimana kalau kerasukan setan? Mau kemana?" ujarnya dengan menunjukkan ekspresi khawatir.
Aku sedang penat, mau keliling-keliling aja ujarku sambil tertawa.
"Eh, titip kopi item satu." ujarnya dengan nada dingin.
Sejak kapan dia minum kopi? Kopi hitam pulak. Aku memesan 2 gelas kopi hitam. Sambil menunggu ibu kios membuatkan pesanan, aku kembali duduk di sebelahnya, aku pun spontan kaget dia sedang menghisap rokok.
Sejak kapan kau minum kopi dan merokok ujarku. Sepengetahuanku kau dulu sangat membenci orang yang merokok dan tak mau minum kopi karena rasanya pahit. Sekarang aku mendapatimu menikmati keduanya.
Dia hanya tersenyum. Cantik sekali.
Aku baru sadar kau memotong rambutmu menjadi sangat pendek ujarku. Lebih pendek dari potongan rambutku. Berbeda dengan ketika awal Mei lalu bertemu di depan gedung sate.
"Potongan rambut ini bikin aku lebih leluasa beraktifitas dan ga bikin gerah tauk. Yang penting tetep cantik, kan?" ujarnya sambil colek-colek tangan kananku.
Aku tertawa dan mengangguk.
"Setiap orang berubah kok, hal sekecil apapun. Termasuk aku sekarang yang jadi suka sama kopi dan merokok. Aku sekarang suka ngopi gara-gara waktu aku tinggal sama kakek, beliau selalu menyediakan kopi di-rumah, dan beliau menawariku rokok kretek. Parah kan? Tapi ya gak apa-apa sih, toh jadi keterusan." ujarnya melanjutkan sambil sesekali menghisap rokok filter di-antara jarinya.
Aku hanya mengangguk dan menyimak. Ibu pemilik kios mengantarkan 2 gelas kopi hitam yang masih mengepul asapnya. Kami berdua mengucapkan terima kasih. Aku memperhatikan raut wajah dan ekspresinya yang menyita mataku. Darahku berdesir, gawat.
Tenggorokanku kering. Aku terdiam. Aku mengambil segelas kopi yang sudah sedikit hangat. Kopi hitam mengalir. Ini lebih nikmat dari biasanya. Entah kenapa.
"Nah kan ngelamun lagi. Ngelamunin apa sih? Hayoh." ujarnya sambil senyum-senyum.
Ah, enggak, enggak jawabku terbata. Aduh gawat.
"Bilang aja, aku merhatiin kamu soalnya." ujarnya dengan tersenyum.
Mau yang jujur atau yang bohong, ujarku. Dadaku berdegup. Aku ketakutan, seperti yang dia bilang bahwa setiap orang pasti berubah. Mungkin sekarang dia berubah jadi pemarah? Aku hanya mengira-ngira.
"Yang jujur dong, siapa juga yang pengen kebohongan?" ujarnya.
Aku ingin ngelumat bibir kamu lagi, ujarku.
Dia menutup mulutnya dan tiba-tiba tertawa keras. Aku memang pernah melakukan itu kepadanya saat aku duduk di kelas 2 SMA. Aku menatap matanya dalam-dalam lalu diam. Namun baru beberapa detik saja, aku langsung mengalihkan pandangan ke depan. Aku tak berani menatap matanya. Aku takut dia marah. Aku sudah siap jikalau sesuatu terjadi, yang pasti aku sudah berusaha jujur.
Aku permisi untuk membayar 2 gelas kopi hitam yang sudah dipesan tadi. Saat aku kembali duduk di sebelahnya aku melihatnya dengan berusaha santai. Seperti ucapan tadi hanyalah celoteh semata. Mukanya memerah, tapi tersenyum. Cantik. Ah gawat. Satu-satunya jalan keluar adalah beranjak pergi.
Tiba-tiba dia mencium bibirku. Aku tak mengelak. Aku membiarkannya dan tanganku akhirnya menahan kepala bagian belakangnya. Mengusapnya perlahan. Ini dia yang aku inginkan. Setelah beberapa detik saling melumat. Aku baru menyadari ternyata ada angkutan umum yang berhenti di depan tempat kami.
"Kade jang, bisi disangka nu aneh-aneh ku batur." ujar sopir angkutan umum sambil beranjak pergi lagi.
Kami berdua saling menatap dan memperhatikan sekitar. Ternyata benar, orang-orang yang di sekitar kami memperhatikan kami. Kami terbahak. Kami berdua baru saja melakukan hal yang keren. Kami sepakat itu keren, karena ini adalah publik, terlebih di-pinggir jalan. Dimana orang-orang mungkin berfikir, dasar pasangan sinting. Kami masih terbahak. Kemudian mengambil tas masing-masing, mengeluarkan kunci motor.
"Sekali lagi dong!" ujarnya dengan memohon.
Aku duduk kembali, tapi dia masih berdiri. Kemudian telapak tangannya mendarat di atas rambutku, mengusapnya, lalu dia mencium keningku. Dadaku berdesir. Aku hanya bisa terdiam.
"Aku masih cinta sama kamu loh. Kalau sayang mah ga usah ditanyain segala lah. Itu mah pasti selalu. Aku nunggu waktu buat nyium kening kamu udah lama banget. Itu yang bikin aku bete dan cape." ujarnya sambil tersenyum. Cantik.
Aku masih duduk terdiam. Apa yang baru saja terjadi?
"Mau nginep disini? Ayo pulang, udah gelap." ujarnya sambil menarik tanganku.
Aku baru tersadar. Lalu kami berdua memakai helm dan menyalakan motor masing.
"Hati-hati di-jalan, jangan ngelamun, bahaya. Udah aku cium tadi masa mau ngelamun lagi?" ujarnya cepat ketika aku akan memberitahu untuk berhati-hati di-jalan. Aku mengangguk.
Kamu juga hati-hati, jangan sampe nyium aspal ujarku sambil tertawa.
"Kamu emang nyebelin. Kabarin ya kalau udah sampe rumah." ujarnya sambil tersenyum, cantik.
Aku hanya mengangguk. Dia melesat dengan motor matic merahnya. Aku memasang headset seperti biasa. Menyalakan audio player di handphone. Memilih Theme From Silk Road milik Kitaro, lalu memilih ikon toogle repeat.
Ah. Aku setuju dengan orang-orang yang berpendapat bahwa sore hari menuju gelap malam itu indah bukan main. Peduli setan dengan kemacetan jalanan dago!
No comments:
Post a Comment