"Show me the wonder, I've seen the purpose of our universe." —Show Me The Wonder, Manic Street Preachers.
Sore tadi aku mencoba mengembalikan rutinitas yang selalu aku lakukan beberapa bulan ke belakang, yang entah kenapa akhir-akhir ini aku menjadi malas, yaitu berkeliling kota yang aku tinggali, Bandung, sendirian. Mungkin aku sedang merasa lelah. Mungkin juga aku memang benar-benar jadi pemalas? Ya mungkin.
Namun karena cuaca yang menurutku kurang nyaman, aku mencoba untuk mencari tempat untuk sekedar duduk sendiri, merokok dan mendengarkan lagu. Aku pun hinggap di-taman dago yang mungkin orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan taman flexi.
Di-telingaku masih terpasang headset dan terdengar lagu yang
kuputar dengan volume tak kepalang tanggung. Aku menyanyi kecil dan sesekali
menghisap rokok yang terus menerus kunyalakan. Karena keasikkan mendengarkan lagu, aku tidak menyadari ada
orang yang hadir disebelahku dan menepuk pundakku. Seorang wanita cantik
menggunakan jilbab. Wajahnya tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi dimana?
"Boleh minta
apinya?"
ujarnya tersenyum.
"Silahkan." ujarku sambil memberikan pemantik
api yang kupunya.
Sekarang dia duduk disebelahku. Badanku bergetar. Entah
kenapa sedari dulu aku selalu suka wanita yang menggunakan jilbab, dan selalu
merasa grogi ketika bertemu wanita
yang berjilbab.
Aku memperhatikan penampilannya. Jilbab berwarna biru gelap, Converse One Star Low warna hitam, Sweater Rajut warna biru gelap, dengan
celana jeans biru gelap yang tidak begitu ketat, dengan tas selendang warna
hitam. Sederhana dan menarik.
“Asik aja nih daritadi,
dipanggil-panggil gak nyaut hampir 6 kali.” ujarnya sambil mengembalikan pemantik api dan
lagi-lagi tersenyum.
Senyumnya nyaman sekali. Aduh wanita ini sangat cantik dan
tidak kaku. Sungguh.
“Maaf. Kalau lagi
sendirian gini volumenya suka sampai maksimal.” ujarku sambil tersenyum.
“Sambil ngelamun? Lagi galau ya?” ujarnya sambil menyeringai.
Aku tersenyum. Dia tertawa. Aku suka tawanya. Cara dia
merokok pun aku bisa melihat. Dia tidak seperti orang yang baru-baru belajar
merokok.
“Enggak, emang seneng
aja kayak gini.” jawabku terlambat beberapa detik.
Dia tersenyum. Menghisap rokoknya lagi. Lalu dia bangkit dari
sebelahku.
“Aku disitu ya.” ujarnya sambil menunjuk tempat duduk
yang berada beberapa meter dari tempat yang kududuki.
Dia berjalan menjauh. Aku memperhatikan tubuhnya. Tidak
terlalu tinggi, tidak terlalu kurus. Cukup. Dia duduk dan menyimpan rokok
dipinggirnya, lalu sibuk dengan tas selendangnya. Dia mengeluarkan buku. Lalu
membukanya, mungkin dibagian tengah.
Aku masih memperhatikannya. Dari cara dia duduk, menghisap
rokok sambil membaca buku. Namun perhatianku teralihkan ketika aku melihat sampul
depan buku yang dia baca. Ya aku tahu buku itu. Itu buku The Truth About Forever-nya Orizuka yang selama ini kucari-cari
kembali. Setelah buku yang kumiliki hilang entah kemana.
“Hey.” ujarnya berteriak.
Aku kaget. Bingung. Dia tertawa sambil menutup mulutnya. Aku
hanya mengangguk. Matanya kembali menghadap ke buku bersampul warna hijau
tersebut yang disimpan diatas pahanya. Aku mengambil tas selendangku, menyimpan
handphone yang masih tertancap headset dan bangkit. Aku memberanikan diri untuk
menghampirinya.
“Hey, itu buku The
Truth About Forever-nya Orizuka kan?” ujarku memberanikan diri bertanya sambil duduk disebelahnya.
“Kok tau? Pernah baca?” ujarnya dengan semangat.
“Pernah. Aku pernah
punya bukunya tapi hilang entah kemana.” jawabku.
Tiba-tiba dia menutup bukunya. Menyimpannya disebelahnya
diatas tas selendangnya.
“Hebat banget ya si Kana bisa berjuang mati-matian bantuin si
Yogas.” ujarnya.
Kana adalah salah satu tokoh wanita pemeran utama yang ada
di-dalam novel tersebut. Yogas adalah tokoh laki-laki yang juga pemeran utama.
“Andai aja aku kayak
dia.” sambungnya.
Aku menyalakan rokok. Menyimpan rokok dan pemantik disebelah.
Bersiap jika dia akan meminta api lagi.
“Kenapa ga jadi diri
kamu sendiri?”
ujarku.
“Terkadang aku selalu ga
yakin dengan apa yang aku lakuin. Terlebih aku punya pengalaman yang buruk.” ujarnya dengan suara pelan sambil
menunduk.
Aku memperhatikan raut wajahnya berubah. Aku tahu yang harus
aku lakukan. Memeluknya. Namun siapa aku? Toh aku pun baru kenal dengannya
beberapa menit yang lalu. Aku mencoba diam. Dia pun ikut diam lalu permisi
meminjam pemantik api. Aku hanya mengangguk dan memperhatikan. Tatapan matanya
menjadi terlihat dingin.
“Kamu dapet dimana buku
itu?” aku bertanya.
“Tadi siang lagi main
ke Rumah Buku. Ada buku ini. Aku bingung, kok judul dan penulisnya sama dengan
buku yang aku punya dirumah. Tapi covernya beda. Karena aku suka bukunya. Aku
beli deh.” Jawabnya sambil
mengambil buku yang tadi disimpan di atas tas-nya.
“Rumah buku? Beberapa
bulan kemarin aku kesana, tapi tidak ada.” ujarku.
“Kamu kurang beruntung!” ujarnya diiringi tawa.
“Eh kita belum kenalan.” sambungnya sambil menyodorkan
tangannya yang putih.
Dia menyebutkan nama, aku pun menyebutkan nama. Namun dia
menyadari bahwa tanganku gemetar saat bersalaman tadi.
“Kenapa gemeteran
begitu? Kamu sakit?”
ujarnya sambil memperlihatkan wajah kebingungan.
“Aku enggak sakit kok.
Aku emang grogi kalau kenalan ama cewe.” ujarku sambil tersenyum. Dia tersenyum kembali. Pipinya yang
putih memerah. Cantik sekali.
“Oh gitu, tenang aja
aku gak akan ngegigit kok.” ujarnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.
“Terlebih wanita yang
berjilbab.” ujarku.
Dia tertawa.
“Kamu suka membaca buku?” ujarnya.
Aku mengangguk.
“Kenapa?” jawabku pendek.
“Entar kalau ada waktu
check tulisan di-blog-ku ya.” ujarnya.
Dia lalu membuka tas selendangnya mengeluarkan buku kecil dan
pulpen. Lalu menulis alamat blog-nya. Menyobekkan kertas dan memberikannya
padaku.
“Tapi maaf, tulisanku
masih berantakan.” Sambungnya.
“Tak apa.” ujarku.
Aku kaget ketika membaca link url blog yang dia tulis di
potongan kertas mungil ini. Ini blog nya? Tidak salah? Blog ini yang selalu
rajin aku kunjungi.
“Ini blog mu?” tanyaku dengan perasaan tak percaya.
“Iya, kenapa?” ujarnya dengan wajah bingung.
“Berarti blog yang
sering aku kunjungi itu adalah blog kamu.” ujarku.
“Yang bener? Bohong.” tanyanya. Pipinya yang putih kembali
memerah.
“Serius. Aku suka
tulisanmu tentang wanita yang jatuh cinta dengan seseorang lelaki yang menyendiri
dan melenggang pergi di kala dunia mulai menyebalkan.” ujarku.
Dia menutup wajahnya dengan sepasang tangan putihnya. Dia
terlihat malu. Ketika tangannya tidak menutup wajahnya, mukanya memerah. Dia
senyum-senyum. Aku ikut tersenyum. Pantas saja wajahnya tidak asing bagiku. Di
dalam blog tersebut terdapat foto pemilik blog-nya. Ternyata dia adalah pemilik
blog tersebut, dan aku sering melihat fotonya.
“Ternyata pemilik blog
yang sering kukunjungi itu cantik seperti tulisannya ya.” ujarku sambil tertawa pelan.
“Ih gombal banget.” ujarnya sambil tersenyum.
Secara spontan dia mendorongkan telapak tangannya kepadaku
yang membuat aku hampir terjatuh. Namun dia bergerak cepat menarik lengan
kananku.
“Maaf.” ujarnya sambil memohon. Aku
mengangguk sambil tersenyum.
Aku membetulkan posisi dudukku. Dia terlihat tidak enak
terhadap apa yang dilakukannya padaku.
“Boleh aku beli buku
itu?” tanyaku sambil
menunjuk buku yang bersampul hijau tersebut.
“Enggak.” ujarnya sambil memberikan raut wajah
mengejek.
Wanita ini menarik.
Handphone-ku bergetar didalam tasku. Aku membuka tas-ku. Ada
telepon dari salah satu temanku. Aku permisi untuk menjawab telepon tersebut.
Aku melihat jam tanganku. Keparat! Aku lupa ada janji 10 menit lagi. Aku
menutup telepon. Bergegas menyalakan lagu. Lalu kembali ke tempat dimana ada
seorang wanita cantik duduk. Aku mengambil tas selendang.
“Mau kemana?” tanyanya.
“Aku lupa, aku ada
janji 10 menit lagi.”
ujarku sambil memasukkan rokok dan pemantik api ke dalam tasku.
Dia mengangkat alis dan mengangguk.
“Kamu mau buku ini?” tanyanya.
“Ya jelas aku mau.” jawabku.
Dia menggaruk dagunya dengan jari telunjuknya. Aku bingung.
“Ya udah ini buku buat
kamu. Tapi ada syaratnya!” ujarnya sambil mengangkat jari telunjuknya.
“Apa syaratnya?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.
“Kamu harus ngasih
kontak kamu ke aku. Gimana?” ujarnya sambil tersenyum malu.
Ini kesempatanku.
“Oke.” ujarku sambil tersenyum
Aku kembali duduk di-sebelahnya.
“Ada Line? Bbm? atau
WeChat?” tanyanya.
“Aku gak pake hp canggih. Aku sudah terlalu canggih untuk
sebuah kecanggihan.” jawabku sambil tersenyum. Dia tertawa.
Aku suka tawanya. Begitu lepas.
“Yasudah, no hp-mu saja.”
ujarnya.
Aku mengetikan no handphone-ku di-handphonenya yang dia
sodorkan kepadaku. Lalu aku kembalikan. Dia memberikan buku yang selama ini
kucari-cari.
“Bener ini nomor kamu?
Awas ya kalau bohong!” ujarnya mengancam.
Aku mengangguk tersenyum sambil berterima kasih atas bukunya
dan permisi. Memasang headset ditelinga, memakai helm lalu menyalakan motor.
Aku memandangnya sambil mengangguk. Lalu dia melambaikan tangan. Aku membalas
lambaian tangannya.
Aku harus cepat sampai ke tempat kawanku. Tidak enak kalau
kawanku menunggu, terlebih jaraknya lumayan jauh dan ini adalah sore hari.
Pasti macet pikirku. Aku pun beranjak pergi dengan berat hati. Sebenarnya aku
masih ingin bersamanya. Tapi apa daya ada janji yang harus kutepati. Mungkin
aku jatuh cinta kepada wanita cantik ini.
Dalam perjalanan Handphone-ku bergetar satu kali. Ada sms. Aku
mengambilnya. Nomor tidak dikenal. Aku membukanya.
“Hati-hati di-jalan ya.
Bukunya harus dijaga loh. Besok kalau kamu ada waktu luang atau kapan-kapan
kita ketemu lagi yuk? Love ya.” Isi pesan singkat ini dari wanita tersebut.
Aku hanya membalas bahwa aku besok kosong, dengan kata penutup yang sama. Aku senyum-senyum sendiri selama perjalanan. Cuaca yang menurutku
kurang nyaman menjadi terasa nyaman. Hatiku terasa lega. Wajah dan senyumnya terbayang-bayang.
Mungkin seperti yang tadi aku bilang. Mungkin aku jatuh cinta lagi.
Mungkin.
No comments:
Post a Comment