Thursday, October 17, 2013

Matahari Yang Terbit Dalam Kegelapan

"Show me the wonder, I've seen the purpose of our universe." —Show Me The Wonder, Manic Street Preachers.

Sore tadi aku mencoba mengembalikan rutinitas yang selalu aku lakukan beberapa bulan ke belakang, yang entah kenapa akhir-akhir ini aku menjadi malas, yaitu berkeliling kota yang aku tinggali, Bandung, sendirian. Mungkin aku sedang merasa lelah. Mungkin juga aku memang benar-benar jadi pemalas? Ya mungkin.


Namun karena cuaca yang menurutku kurang nyaman, aku mencoba untuk mencari tempat untuk sekedar duduk sendiri, merokok dan mendengarkan lagu. Aku pun hinggap di-taman dago yang mungkin orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan taman flexi.

Di-telingaku masih terpasang headset dan terdengar lagu yang kuputar dengan volume tak kepalang tanggung. Aku menyanyi kecil dan sesekali menghisap rokok yang terus menerus kunyalakan. Karena keasikkan mendengarkan lagu, aku tidak menyadari ada orang yang hadir disebelahku dan menepuk pundakku. Seorang wanita cantik menggunakan jilbab. Wajahnya tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi dimana?

"Boleh minta apinya?" ujarnya tersenyum.

"Silahkan." ujarku sambil memberikan pemantik api yang kupunya.

Sekarang dia duduk disebelahku. Badanku bergetar. Entah kenapa sedari dulu aku selalu suka wanita yang menggunakan jilbab, dan selalu merasa grogi ketika bertemu wanita yang berjilbab.

Aku memperhatikan penampilannya. Jilbab berwarna biru gelap, Converse One Star Low warna hitam, Sweater Rajut warna biru gelap, dengan celana jeans biru gelap yang tidak begitu ketat, dengan tas selendang warna hitam. Sederhana dan menarik.

“Asik aja nih daritadi, dipanggil-panggil gak nyaut hampir 6 kali.” ujarnya sambil mengembalikan pemantik api dan lagi-lagi tersenyum.

Senyumnya nyaman sekali. Aduh wanita ini sangat cantik dan tidak kaku. Sungguh.

“Maaf. Kalau lagi sendirian gini volumenya suka sampai maksimal.” ujarku sambil tersenyum.

 “Sambil ngelamun? Lagi galau ya?” ujarnya sambil menyeringai.

Aku tersenyum. Dia tertawa. Aku suka tawanya. Cara dia merokok pun aku bisa melihat. Dia tidak seperti orang yang baru-baru belajar merokok.

“Enggak, emang seneng aja kayak gini.” jawabku terlambat beberapa detik.

Dia tersenyum. Menghisap rokoknya lagi. Lalu dia bangkit dari sebelahku.

“Aku disitu ya.” ujarnya sambil menunjuk tempat duduk yang berada beberapa meter dari tempat yang kududuki.

Dia berjalan menjauh. Aku memperhatikan tubuhnya. Tidak terlalu tinggi, tidak terlalu kurus. Cukup. Dia duduk dan menyimpan rokok dipinggirnya, lalu sibuk dengan tas selendangnya. Dia mengeluarkan buku. Lalu membukanya, mungkin dibagian tengah.

Aku masih memperhatikannya. Dari cara dia duduk, menghisap rokok sambil membaca buku. Namun perhatianku teralihkan ketika aku melihat sampul depan buku yang dia baca. Ya aku tahu buku itu. Itu buku The Truth About Forever-nya Orizuka yang selama ini kucari-cari kembali. Setelah buku yang kumiliki hilang entah kemana.

“Hey.” ujarnya berteriak.

Aku kaget. Bingung. Dia tertawa sambil menutup mulutnya. Aku hanya mengangguk. Matanya kembali menghadap ke buku bersampul warna hijau tersebut yang disimpan diatas pahanya. Aku mengambil tas selendangku, menyimpan handphone yang masih tertancap headset dan bangkit. Aku memberanikan diri untuk menghampirinya.

“Hey, itu buku The Truth About Forever-nya Orizuka kan?” ujarku memberanikan diri bertanya sambil duduk disebelahnya.

“Kok tau? Pernah baca?” ujarnya dengan semangat.

“Pernah. Aku pernah punya bukunya tapi hilang entah kemana.” jawabku.

Tiba-tiba dia menutup bukunya. Menyimpannya disebelahnya diatas tas selendangnya.

“Hebat banget ya si Kana bisa berjuang mati-matian bantuin si Yogas.” ujarnya.

Kana adalah salah satu tokoh wanita pemeran utama yang ada di-dalam novel tersebut. Yogas adalah tokoh laki-laki yang juga pemeran utama.

“Andai aja aku kayak dia.” sambungnya.

Aku menyalakan rokok. Menyimpan rokok dan pemantik disebelah. Bersiap jika dia akan meminta api lagi.
“Kenapa ga jadi diri kamu sendiri?” ujarku.

“Terkadang aku selalu ga yakin dengan apa yang aku lakuin. Terlebih aku punya pengalaman yang buruk.” ujarnya dengan suara pelan sambil menunduk.

Aku memperhatikan raut wajahnya berubah. Aku tahu yang harus aku lakukan. Memeluknya. Namun siapa aku? Toh aku pun baru kenal dengannya beberapa menit yang lalu. Aku mencoba diam. Dia pun ikut diam lalu permisi meminjam pemantik api. Aku hanya mengangguk dan memperhatikan. Tatapan matanya menjadi terlihat dingin.

“Kamu dapet dimana buku itu?” aku bertanya.

“Tadi siang lagi main ke Rumah Buku. Ada buku ini. Aku bingung, kok judul dan penulisnya sama dengan buku yang aku punya dirumah. Tapi covernya beda. Karena aku suka bukunya. Aku beli deh.” Jawabnya sambil mengambil buku yang tadi disimpan di atas tas-nya.

“Rumah buku? Beberapa bulan kemarin aku kesana, tapi tidak ada.” ujarku.

 “Kamu kurang beruntung!” ujarnya diiringi tawa.

“Eh kita belum kenalan.” sambungnya sambil menyodorkan tangannya yang putih.

Dia menyebutkan nama, aku pun menyebutkan nama. Namun dia menyadari bahwa tanganku gemetar saat bersalaman tadi.

“Kenapa gemeteran begitu? Kamu sakit?” ujarnya sambil memperlihatkan wajah kebingungan.

“Aku enggak sakit kok. Aku emang grogi kalau kenalan ama cewe.” ujarku sambil tersenyum. Dia tersenyum kembali. Pipinya yang putih memerah. Cantik sekali.

“Oh gitu, tenang aja aku gak akan ngegigit kok.” ujarnya sambil tertawa. Aku ikut tertawa.

“Terlebih wanita yang berjilbab.” ujarku.

Dia tertawa.

“Kamu suka membaca buku?” ujarnya.

Aku mengangguk.

“Kenapa?” jawabku pendek.

“Entar kalau ada waktu check tulisan di-blog-ku ya.” ujarnya.

Dia lalu membuka tas selendangnya mengeluarkan buku kecil dan pulpen. Lalu menulis alamat blog-nya. Menyobekkan kertas dan memberikannya padaku.

“Tapi maaf, tulisanku masih berantakan.” Sambungnya.

“Tak apa.” ujarku.

Aku kaget ketika membaca link url blog yang dia tulis di potongan kertas mungil ini. Ini blog nya? Tidak salah? Blog ini yang selalu rajin aku kunjungi.

“Ini blog mu?” tanyaku dengan perasaan tak percaya.

“Iya, kenapa?” ujarnya dengan wajah bingung.

“Berarti blog yang sering aku kunjungi itu adalah blog kamu.” ujarku.

“Yang bener? Bohong.” tanyanya. Pipinya yang putih kembali memerah.

“Serius. Aku suka tulisanmu tentang wanita yang jatuh cinta dengan seseorang lelaki yang menyendiri dan melenggang pergi di kala dunia mulai menyebalkan.” ujarku.

Dia menutup wajahnya dengan sepasang tangan putihnya. Dia terlihat malu. Ketika tangannya tidak menutup wajahnya, mukanya memerah. Dia senyum-senyum. Aku ikut tersenyum. Pantas saja wajahnya tidak asing bagiku. Di dalam blog tersebut terdapat foto pemilik blog-nya. Ternyata dia adalah pemilik blog tersebut, dan aku sering melihat fotonya.

“Ternyata pemilik blog yang sering kukunjungi itu cantik seperti tulisannya ya.” ujarku sambil tertawa pelan.

“Ih gombal banget.” ujarnya sambil tersenyum.

Secara spontan dia mendorongkan telapak tangannya kepadaku yang membuat aku hampir terjatuh. Namun dia bergerak cepat menarik lengan kananku.

“Maaf.” ujarnya sambil memohon. Aku mengangguk sambil tersenyum.

Aku membetulkan posisi dudukku. Dia terlihat tidak enak terhadap apa yang dilakukannya padaku.

“Boleh aku beli buku itu?” tanyaku sambil menunjuk buku yang bersampul hijau tersebut.

“Enggak.” ujarnya sambil memberikan raut wajah mengejek.

Wanita ini menarik.

Handphone-ku bergetar didalam tasku. Aku membuka tas-ku. Ada telepon dari salah satu temanku. Aku permisi untuk menjawab telepon tersebut. Aku melihat jam tanganku. Keparat! Aku lupa ada janji 10 menit lagi. Aku menutup telepon. Bergegas menyalakan lagu. Lalu kembali ke tempat dimana ada seorang wanita cantik duduk. Aku mengambil tas selendang.

“Mau kemana?” tanyanya.

“Aku lupa, aku ada janji 10 menit lagi.” ujarku sambil memasukkan rokok dan pemantik api ke dalam tasku.

Dia mengangkat alis dan mengangguk.

“Kamu mau buku ini?” tanyanya.

“Ya jelas aku mau.” jawabku.

Dia menggaruk dagunya dengan jari telunjuknya. Aku bingung.

“Ya udah ini buku buat kamu. Tapi ada syaratnya!” ujarnya sambil mengangkat jari telunjuknya.

“Apa syaratnya?” tanyaku dengan penuh rasa penasaran.

Kamu harus ngasih kontak kamu ke aku. Gimana?” ujarnya sambil tersenyum malu.

Ini kesempatanku.

“Oke.” ujarku sambil tersenyum

Aku kembali duduk di-sebelahnya.

“Ada Line? Bbm? atau WeChat?” tanyanya.

“Aku gak pake hp canggih. Aku sudah terlalu canggih untuk sebuah kecanggihan.” jawabku sambil tersenyum. Dia tertawa.

Aku suka tawanya. Begitu lepas.

“Yasudah, no hp-mu saja.” ujarnya.

Aku mengetikan no handphone-ku di-handphonenya yang dia sodorkan kepadaku. Lalu aku kembalikan. Dia memberikan buku yang selama ini kucari-cari.

“Bener ini nomor kamu? Awas ya kalau bohong!” ujarnya mengancam.

Aku mengangguk tersenyum sambil berterima kasih atas bukunya dan permisi. Memasang headset ditelinga, memakai helm lalu menyalakan motor. Aku memandangnya sambil mengangguk. Lalu dia melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya.

Aku harus cepat sampai ke tempat kawanku. Tidak enak kalau kawanku menunggu, terlebih jaraknya lumayan jauh dan ini adalah sore hari. Pasti macet pikirku. Aku pun beranjak pergi dengan berat hati. Sebenarnya aku masih ingin bersamanya. Tapi apa daya ada janji yang harus kutepati. Mungkin aku jatuh cinta kepada wanita cantik ini.

Dalam perjalanan Handphone-ku bergetar satu kali. Ada sms. Aku mengambilnya. Nomor tidak dikenal. Aku membukanya.

“Hati-hati di-jalan ya. Bukunya harus dijaga loh. Besok kalau kamu ada waktu luang atau kapan-kapan kita ketemu lagi yuk? Love ya.” Isi pesan singkat ini dari wanita tersebut.

Aku hanya membalas bahwa aku besok kosong, dengan kata penutup yang sama. Aku senyum-senyum sendiri selama perjalanan. Cuaca yang menurutku kurang nyaman menjadi terasa nyaman. Hatiku terasa lega. Wajah dan senyumnya terbayang-bayang.

Mungkin seperti yang tadi aku bilang. Mungkin aku jatuh cinta lagi. Mungkin.

No comments:

Post a Comment