Monday, December 9, 2013

Gelisah Yang Datang Di Musim Penghujan

"Out here I can barely see my breath, surrounded by jealousy and death. Dragged underneath, separate from you all." —I'm So Tired, Fugazi

Aku terduduk di sebuah meja, di sebuah kantin brengsek yang (tumben) para penjual makanan dan minuman tak menyediakan kopi, lebih tepatnya kopi-nya habis. Terpaksa aku memesan susu coklat dan setumpuk gorengan yang kagok aral sudah dingin. 

Aku mengeluarkan dan menyalakan rokok murah yang (lagi-lagi) masih saja aku beli dan selalu kupilih untuk menemaniku. Ibu selalu mengingatkanku untuk mengurangi konsumsi rokok demi kesehatanku, agar lebih baik katanya. Aku hanya mampu tersenyum. Mungkin Ibuku ada benarnya, terlebih sekarang aku sering merasa sesak nafas. Tapi sungguh, aku tak bisa (mungkin belum) mengiyakan keinginan beliau untuk berhenti merokok. Aku masih saja menghisap rokok, yang mungkin kawan-kawanku akan tertawa ketika aku mengeluarkan rokok tersebut. Persetan, rokok ini selalu setia menemaniku!

Aku memperhatikan sekeliling, ramai sekali. Aku sebenarnya tak suka dengan keramaian, terlalu berisik. Namun apa boleh buat, aku sekarang sama seperti mereka, orang-orang yang sedang menunggu hujan yang tak kunjung reda, namun semakin deras. Aku sedang lapar, gorengan terus menerus ku masukan ke dalam mulutku.

Aku mendapatkan pandanganku tertuju ke arah timur beberapa meter dariku. Ada sepasang kekasih yang sedang asik bermesraan. Tiba-tiba aku tersenyum sangat nikmat. Aku senang melihatnya. Aku jadi rindu 2 orang kawanku, sepasang kekasih yang begitu selalu sederhana di-mataku, tak pernah neko-neko untuk sekedar saling berbagi dan mengisi. Namun aku rindu dengan kawanku yang sang lelaki, padahal semalam tadi aku baru saja berbincang dengannya melalui salah satu jejaring sosial. Biasanya disaat aku berjumpa dengan kawanku ini, dia adalah salah satu sahabat yang paling sering kuberondongkan apa yang ingin aku ceritakan, namun sekarang sepertinya sedikit sulit untuk itu. Kawanku sekarang sedang bergumul dengan hiruk-pikuknya Ibukota demi sesuap nasi. Terkadang aku tak tega melihatnya begitu, namun apa boleh buat, mau tidak mau harus dilakukan. Semoga 2 kawanku ini masih selalu bisa saling menjaga kepercayaan, walau sekarang mereka berjarak, berbeda kota. Mungkin, aku hanya merasa kehilangan akan sesuatu, entahlah.

Gorengan tersisa 1. Ya, aku sedang kelaparan. Susu coklat panas ku tandaskan setengahnya. Aku menyalakan rokok lagi, menghisapnya dalam-dalam, kuhembuskan kembali pada semesta yang sedang meneteskan air mata.

Handphone-ku bergetar, tanda ada sms masuk. Aku merasa kegirangan. Aku sedang menanti balasan dari seorang wanita yang akhir-akhir ini menemaniku. Seseorang wanita riang yang apa adanya, penikmat kopi dan membuatku benar-benar jatuh cinta. Tadi pagi dia kembali ke Ibukota untuk menjalani (kewajiban) rutinitasnya; mencari rupiah.

Aku menatap layar, kaget. Aku memberanikan diri membaca pesan yang masuk.

"Hai, apa kabar? Kamu kok sombong sekarang ga pernah ngabarin? Maafin kelakuan aku yang bikin kamu sakit hati, aku kangen kamu, aku pengen ketemu, plissssssssss."

Seseorang dari masa lalu. Aku menyimpan handphoneku kembali ke dalam saku celana. Ah, brengsek. Aku tak mau terjebak lagi olehnya, aku tak mau terjatuh lagi untuk saat ini. Dia selalu memainkan perasaanku. Enak saja datang dan pergi seenak jidat. Dia kira, aku itu WC?

Aku menandaskan susu coklat dalam gelas yang berada di-hadapanku. Aku menghisap dalam-dalam rokok yang sedikit lagi pasti akan kumatikan, dan menyimpan bungkus rokok ke dalam tas selendangku. Aku jadi merasa tak nyaman berada disini, berisik pula. Aku lupa membawa mp3 playerku, brengsek.

Hujan semakin deras. Namun rasanya aku harus beranjak dari sini, aku tak ingin pikiranku semakin semerawut. Aku tak peduli jika aku basah kuyup, yang aku pikirkan hanya ingin menyeduh kopi panas di-rumah, karena menikmati kopi biasanya bisa membuatku nyaman.

No comments:

Post a Comment