Monday, November 18, 2013

Yang Berubah Dan Yang Tetap Sama.

"Life goes on and on, what's right or wrong? I can't say, it seems so hopeless and yet I stay. This driving force that makes me speak and care." —Spoke, Embrace

Saat sang mentari terbit aku sudah terbangun dari tidurku, tak seperti biasa. Biasanya aku bangun pagi hari sekali saat langit masih gelap, membereskan rumah lalu tidur kembali hingga siang hari. Bukannya aku tak ingin menikmati pagi hari yang menyejukan, tapi mungkin karena jadwal 'kompromi'-ku adalah siang hari yang membuatku menjadi terbiasa bangun siang.

Ibuku memanggil, ada teman katanya. Aku bergegas, penasaran. Siapa yang mampir sepagi ini ke rumah? Kawanku duduk di-kursi teras rumah. Aku persilahkan masuk.

"Disini saja, lebih adem." ujarnya.

Baiklah. Aku melihat raut wajahnya sangat berbeda dari biasanya, seperti sedang tak bersemangat dan dilanda kegundahan tiada tara. Seorang lelaki penggemar 'teori-teori-jelimet' dengan wajah yang sangat terlihat kusam.

"Kopi atau teh?" tanyaku.

"Air putih hangat saja." ujarnya.

Aku mengangkat alis, lalu permisi masuk ke dalam. Aku berpikir sambil menunggu air yang mendidih. Sepertinya dia sedang gelisah karena 'cinta'. Aku bisa memprediksikan karena cinta, bukannya menggeneralisir, tapi biasanya kawan-kawanku yang datang dan ingin berbagi kebanyakan bercerita tentang betapa kacaunya kisah cinta mereka. Aku pun tak tahu kenapa. Beberapa kawanku selalu bertanya tentang solusi dari sebuah masalah cinta mereka kepadaku. Padahal pada kenyataannya kisah cintaku (mungkin) jauh lebih kacau daripada mereka. Aneh. Solusi-solusi yang kupunya memang kupakai untuk diriku sendiri, bukan untuk orang lain.

"Kalau mau ke-rumah berkabar dulu. Gimana kalau misal pas kamu datang, saya gak lagi di-rumah? Sia-sia kan datang kesininya." ujarku sambil menyimpan dua gelas cangkir; Air putih hangat pesanannya dan kopi susu untukku.

Dia tersenyum kecut. Aku tak suka senyumnya, sinis. Dia menyalakan rokok.

"Rokok?" tanyanya.

Aku menggeleng.

"Saya sedang mengurangi konsumsi rokok."jawabku.

Dahinya mengkerut. Dia mengernyit. Raut wajahnya seperti orang yang terheran-heran.

"Gak salah? Saya tahu kamu perokok berat dan sekarang ditawari rokok seperti ini kamu menolak. Munafik banget kamu, sok-sok mengurangi rokok. Ini pasti karena cinta ya?" ujarnya sambil tertawa terbahak.

Munafik? Aku diam sejenak. Bukankah kita semua sudah terlalu munafik hidup di-dunia ini? Sesungguhnya kita pun tak pernah berharap di-lahirkan, namun pada kenyataannya kita terlahir dan hidup dalam kemunafikan di-dunia yang berengsek ini. Cinta? Memang ada seseorang yang benar-benar aku cintai dan kagumi yang membantuku untuk mengurangi rokok akhir-akhir ini. Tapi aku memilih mengurangi mengkonsumsi rokok karena beberapa alasanku sendiri.  

"Enggak kok. Saya pengen aja ngurangin merokok. Mungkin sampai berenti." jawabku terlambat.

Lagi-lagi dia tersenyum sinis. Aku merasa gusar dan jadi malas berhubungan dengannya. Aku memang tak begitu suka dengan orang yang selalu melontarkan senyuman sinis. Seperti terlalu menyepelekan segala sesuatu.

"Jadi ada apa datang kemari sepagi ini? Mau menceramahi?" tanyaku.

"Enggak, saya hanya ingin berbagi cerita." jawabnya dengan mantap.

Aku memandang kawanku. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Aku bersiap mendengarkan.

"Saya merasa bodoh, saya selalu mempercayai isi apapun yang ada di-buku. Terlebih buku Senjakala Berhala yang engkau pinjamkan, nah jadi sekarang aku kembalikan bukunya. Awalnya saya percaya, bahwa semua masalah di-masa sekarang dapat dipecahkan oleh buku-buku dan pemikiran-pemikiran yang ada sudah berabad-abad atau ribuan tahun yang lalu. Tapi kemarin malam, aku termenung sendiri. Kenapa masalah-masalah yang berada di-sekitar saya tak dapat dipecahkan dengan teori-teori yang sudah ada? Saya jadi tak percaya lagi dengan semua teori-teori yang sudah ada." ujarnya dengan nada marah dan kecewa.

Aku tersenyum. Orang memang berubah, pasti berubah. Aku tau percis kawanku ini adalah orang yang keras kepala, sangat keras kepala. Terlebih jika sedang beradu argumen, jika ada beberapa argumen orang lain yang tidak serupa dengan teori-teori yang dia baca. Dia marah. Menyebalkan memang. Lalu kawanku ini tak pernah mempedulikan apapun yang dipikirkan orang lain. Dulu aku pernah berusaha menjauh dari kawanku ini, karena jika tidak aku akan menghabiskan energiku untuk beradu bacot yang menurutku tak penting.

"Dulu kan saya pernah bilang bahwa teori-teori jelimet yang sudah ada itu hanya untuk menambah wawasan kita, melihat masa lalu, ya mungkin agar kita tak mengulang sebuah 'kesalahan-kesalahan' yang sudah terjadi. Argumen saya sekarang pun mungkin salah, mungkin juga menjadi benar. Saya pun gak tau." jawabku dengan tenang.

Raut wajahnya memperlihatkan bahwa dia sangat terpukul dengan jawabanku.

"Memang kita butuh masukan juga dan berbagi seperti ini. Tapi keputusan ada di-tangan kita sendiri. Itu adalah sebuah pilihan. Mungkin semua jawaban ada pada diri kita masing-masing, kita yang harus mencari tahu sendiri dari pengalaman-pengalaman yang pernah kita alami sendiri. Bukan dari buku-buku & teori-teori jelimet yang sering kamu anggap paling benar. Walaupun memang sedikit banyaknya membantu." lanjutku.

Dia lalu menghabiskan air mineral hangat yang berada di gelas cangkir dan menyalakan rokok kembali. Dia seperti sedang berpikir keras untuk membuat argumen tandingan. Aku meminta satu batang rokok, dan menyalakan rokok. Brengsek, aku terpancing menyalakan rokok. Kawanku ini mengangguk, namun pandangannya tetap lurus dingin ke bawah, ke lantai teras rumah.

"Jadi sekarang saya harus bagaimana?" tanyanya.

Aku sedikit kaget. Dia tidak membalas argumenku, dia malah melontarkan pertanyaan konyol yang seharusnya dia temukan sendiri solusinya.

"Bagaimana untuk apa?" tanyaku dengan sedikit malas.

"Ya untuk sekarang dan waktu ke depan. Bagaimana saya harus menjalani hidup?" ujarnya.

Sungguh aku malas untuk menjawabnya. Karena tadi aku sudah berbicara panjang lebar, dan seperti tidak didengarkan. Terlebih hidupnya bukan urusanku. Tapi aku sedikit memakluminya jika dia bertanya seperti itu. Dia sedang gundah. Aku tak bisa diam saja, karena aku sungguh tak tega melihatnya kebingungan seperti ini.

"Mungkin, kamu harus memaknai hidup kamu sendiri, menghidupi hidup untuk hari ini dan menikmati hidup kamu." jawabku sekenanya.

Dia diam beberapa saat, memandang langit yang mulai cerah. Lalu dia tersenyum. Aku merasa tenang, senyumnya tidak terpaksa dan tidak sinis.

"Kamu memang ga berubah ya? Masih tetep seperti ini." ujarnya sambil menengok padaku.

Aku mengangkat bahu sambil mengangkat alis dan mematikan rokok di asbak yang selalu tersedia di meja teras rumah.

"Makasih loh, pagi-pagi begini mau dengerin curhat." ujarnya.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Menyeruput kopi yang mulai dingin. Nikmat sekali kopi susu ini.

"Jadi gimana wanita mungil dan dingin yang selama 3 tahun ini kamu tunggu? Masih tetep kamu kagumi dan setia menunggu?" ujarnya sambil mengangkat-angkat alisnya berulang kali dan menyeringai.

Aku tersedak. Dia pasti melihat tulisan di-blog-ku ini. Dia malah tertawa. Brengsek.

"Masih." ujarku sambil tersenyum.

Dia memakai jaket dan mengeluarkan kunci motor dari tasnya.

"Bawa main dong, kenalin. Tapi kamu kok bisa gitu ya? Nunggu 3 tahun. Apa tuh rahasianya?" tanyanya.

Aku tak mau berpanjang lebar lagi berbicara. Aku tahu jawaban yang paling tepat.

"Sebenernya ga ada rahasia, ini semua karena fakta yang sudah ada, hmm, mungkin jawabannya adalah karena saya memang keren, jadi bisa seperti itu." ujarku sambil mengangkat-angkat alis.

Dia tertawa. Aku ikut tertawa. Dia pamit karena akan ada kuliah setengah jam lagi. Wajahnya berubah terlihat sangat ceria. Aku merasa senang sekarang.

Kawanku menghilang di-belokan dekat rumahku dengan motor 'berisik'-nya. Aku bergegas menuju warnet milik keluarga, beres-beres.

Ayahku ada di-komputer operator, sedang memutar When I Come Down milik Black Sabbath dengan volume (mungkin) 50% dan ikut menyanyi. Aku pun jadi ikut bernyanyi sambil beres-beres.

No comments:

Post a Comment